Kamis, 21 Oktober 2010

Anarkisme dan Kekerasan

Supporter – Seringnya terjadi tindakan anarkisme dan kekerasan yang di timbulkan oleh Supporter merupakan cerminan perilaku kehidupan bangsa Indonesia saat ini, aktifitas tersebut merupakan faktor ekonomi masyarakat Indonesia yang bisa di katakan belum sejahtera, sehingga timbul tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya di lakukan oleh masyarakat yang memegang prinsip Pancasila, budaya Indonesia sebenarnya adalah budaya luhur sopan, santun, toleransi dan ramah yang di wariskan oleh nenek moyang kita terdahulu, tapi kenapa saat ini budaya Pancasila Bhinneka Tunggal ika tidak di terapkan sama sekali oleh masyarakat kita?..bisa jadi juga pengaruh pendidikan dan lingkungan masyarakat tersebut.
Tugas aparat adalah menangkap dan memberi sanksi ke pelaku!Bukan Komdis!

Tidak hanya sepak bola, bahkan secara umum masyarakat Indonesia memang gemar melakukan tindakan-tindakan anarkis, faktor ketidakpuasan dari segala macam keputusan dan kebijakan yang di lampiaskan dengan meng-aktualisasikan diri ke arah yang negatif.

Bisa kita lihat saat demontrasi di berbagai tempat, mereka pada awalnya ingin menyuarakan pendapat, namun begitu tahu pendapat mereka tidak di dengarkan yang terjadi adalah tindakan konyol dengan melawan aparat dan ujung-ujungnya akan berimbas di areal sekitarnya.

Jika di sepakbola, mayoritas ketidak puasan itu di lampiaskan ke Pengadil lapangan yang di anggap mengeluarkan keputusan-keputusan sepihak, yang awalnya dari umpatan-umpatan kotor kemudian mengalir ke perbuatan, sedangkan kita tahu sendiri , stadion di Indonesia benar-benar tidak steril, banyak sekali benda-benda yang bisa di lemparkan ke arah lapangan.

PSSI melalui komdis hanya bisa memberi sanksi dan hukuman, mereka tidak pernah memberikan solusi-solusi khusus agar tingkah laku para supporter menjadi lebih baik, hukuman larangan menyaksikan pertandingan sebenarnya bukanlah solusi tepat, karena sumber pemasukan utama liga di Indonesia masih bergantung pada tiket masuk penonton.

Bagaimana nasib team-team Swasta yang menggantungkan dana bukan dari APBD? mereka berjuang menyedot massa untuk kelangsungan team tersebut,sumber pemasukan yang tidak banyak selalu harus di rugikan oleh sangsi-sangsi itu.

Nah memang, bukan keputusan yang bijak memberikan sangsi berupa larangan, karena masyarakat di Indonesia adalah sangat menggemari Sepak Bola sementara yang membayar denda adalah team itu!Komdis tidak bisa menarik dana ke kelompok Supporter tersebut, karena memang Supporter di Indonesia bukanlah Organisasi yang mempunyai ketua dan lembaga.

Komdis dan PSSI tidak berhak mengatur Supporter atau bahkan menghukum Supporter,lebih tepat Komdis menghukum Pemain/team yang melanggar aturan kalian, yang berhak menghukum pelaku(oknum) kekerasan di stadion adalah aparat Kepolisian

Kedatangan mereka ke stadion sebenarnya keinginan individu, tidak ada yang memaksa, hei…kamu harus nonton team ini!tidak,,tidak demikian,,,

Aparat sudah di bayar mahal untuk menjaga keamanan, jika ada ulah yang merugikan karena oknum Supporter, aparatlah yang wajib menangkap,!PSSI? kalian tidak punya urusan dengan kami(Supporter) dan jangan sekali-kali melarang kami menyaksikan pertandingan.

Jika terus Komdis memberi sanksi ke Supporter, team lah yang di rugikan,team cari uang dan PSSI juga cari uang,jadi klo sama-sama cari uang jangan ada “Pemerkosaan” di situ! jangan salahkan supporter! salahkan perekonomian di Indonesia, atau salahkan Pendidikan di Indonesia, karena tidak bisa mendidik masyarakat dengan baik, apakah benar demikian? mungkin juga bisa menyalahkan Guru Sejarah/PPKN yang salah dalam mengajari etika, sekali lagi jangan salahkan Supporter!karena mereka dalam jumlah besar, tidak mungkin menyamakan persepsi, ada yang santun dan ada yang rusak moralnya, jikalau mau menghukum, tangkap pelakunya!kan ada aparat di stadion, (rugi donk team membayar mahal-mahal tapi aparat tidak di fungsikan untuk menangkap pelaku)jangan biarkan mereka berdiam diri melihat perilaku kriminal, sama halnya saat kerisuhan demontrasi, yang di tangkap pelakunya,Salam Damai Supporter Indonesia.

Teknologi, Budaya Menulis dan Demokratisasi Pengetahuan



Menuliskan Identitas Bangsa
Semasa saya SMA, terjadi suatu fenomena yang menarik. Sekolah saya yang terdiri dari campuran siswa-siswa dari berbagai ras, keturunan dan agama dapat menunjukan persatuan diantara siswa-siswanya – tidak terjadi kesenjangan ataupun konflik yang disebabkan oleh agama ataupun ras. Siswa-siswa lebih merasakan identitas bersama sebagai anggota dari sekolah yang sama ketimbang menonjolkan perbedaan warna kulit atau kesenjangan ekonomi. Persaudaraan terjadi diantara kami, siswa-siswa keturunan cina dan pribumi, kaya dan miskin, dan kami menjadi “Men for and with others”. Persatuan diantara siswa-siswa SMU saya hanya dapat terjadi karena kami memiliki identitas sebagai siswa dari satu sekolah yang sama. Apakah warga-warga Indonesia memiliki identitas yang sama sebagai manusia sebangsa dan setanah air, seperti apa yang kita setiap kali kumandangkan pada upacara bendera?

Berdasarkan "The New Oxford American Dictionary", definisi sebuah bangsa adalah sekelompok orang yang memiliki sejarah, budaya, bahasa, etnis bersama dan bisa diperdebatkan bahwa satu-satunya hal yang dimiliki bersama oleh rakyat Indonesia adalah bahasa. Budaya, etnis, dan bahkan sejarah antara golongan etnis di Indonesia masih terisolir antara satu dengan yang lainnya sampai hari ini. Situasi geografis Indonesia yang berupa pulau-pulau menyebabkan sulitnya untuk terjadi percampuran budaya dan etnis. Pengalaman sejarah pun tidak dirasakan bersama antar kelompok etnis, karena situasi geografis. Rakyat Jawa tidak merasakan keterbelakagan infrastruktur di Irian Jaya atau rakyat Batam tidak menghadapi bahaya dari pemberontakan GAM yang diderita rakyat Aceh. Bahasa Indonesia, yang dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia, bisa menjadi kendaraan dalam pembentukan identitas bersama bangsa Indonesia. Melalui berita, seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan derita ataupun pencapaian dari kelompok tertentu sebagai derita atau pencapaian yang patut ditanggung atau dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia. (Anderson, 1991)

Sejarah yang juga menjadi komponen pembentukan identitas bangsa Indonesia pun masih tersamar, terutama karena andil pemerintahan Orde Baru. Sejak Reformasi Indonesia, mulai bermunculan beberapa buku-buku yang mencoba untuk menjabarkan sejarah Indonesia dari sudut pandang lain, tetapi masih belum ada satu versi yang dianggap kebenaran dan tetaplah yang diajarkan di sekolah-sekolah masih mengikuti apa yang dituliskan oleh Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa versi “formal” dari suatu sejarah adalah apa yang tertuliskan, meskipun terkadang apa yang masih lisan adalah yang lebih benar. Melalui tulisan, rakyat di Sumatra dapat tahu fakta yang sama yang diketahui oleh rakyat Jawa, rakyat Papua dapat percaya akan sejarah yang sama dengan yang dipercayai oleh rakyat Sulawesi, dan seterusnya. Apabila kebenaran hanya tetap dalam bentuk lisan, maka sulit untuk seluruh rakyat Indonesia yang dipisahkan oleh jarak geografis ataupun rakyat Indonesia antar generasi yang dipisahkan waktu untuk dapat percaya akan kebenaran dan fakta yang sama. Media tertulis, lain dengan media lisan seperti radio, dapat melampaui jurang waktu. Generasi muda Indonesia tidak dapat mendengarkan berita radio seperti yang didengar oleh angkatan pejuang ’45, tetapi dapat membaca surat deklarasi kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno.

Tulisan, terutama tulisan sejarah, adalah media yang penting untuk pembentukan identitas bangsa. Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah tulisan sejarah yang saat ini ada bukanlah sejarah Indonesia yang lengkap atau sebenarnya, tetapi hasil rekayasa dan manipulasi pemerintahan Orde Baru. Untuk membentuk dan mengembalikan identitas bangsa Indonesia dari sisi sejarah, dibutuhkan kerja sama diantara sejarahwan, aktifis politik, peneliti budaya, dll untuk menuliskan sejarah lengkap Indonesia namun hal ini sangat sulit apabila siswa tidak diperkenalkan dan dibiasakan menulis, ataupun dihargai bila menyukai ilmu sosial (yang dianggap lebih tidak berharga ketimbang ilmu sains atau bisnis).